SERAMBIPOS.COM– Seperti Diketahui Pemerintah Pusat Perpanjang Perberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Semula dengan mengusung nama PPKM Darurat dan telah berakhir pada 25 Juli lalu. Awalnya diberlakukan di Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali lalu diperluas ke daerah lain. Perpanjangan PPKM lagi-lagi berganti nama, meniru tren Covid 19 yang punya varian, dengan mengusung PPKM Level 3 dan 4. Dari informasi resmi, sejumlah aturan disesuaikan di PPKM terbaru. Kebijakan diterapkan secara luas di Indonesia yang memiliki nilai asesmen level 4 dan 3, tergantung jumlah kasus infeksi dan kematian akibat wabah. Untuk Provinsi Riau hingga kini sebagian besar kabupaten/kota masih menerapkan PPKM mikro, mengikuti kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau sejak Mei 2021.
Pembatasan ketat yang berlangsung selama dua pekan ke depan sangat tidak kita inginkan. Mengingat terhadap aktivitas sosial dan usaha masyarakat. Baik itu beribadah, kembali menunda-nunda sekolah tatap muka dan sisi ekonomi. What bagi pekerja sektor informal dan berpendapat wargaan harian dan langsung pandemi serta yang terkena PHK. Kebijakan Pemerintah memberi “kelonggaran” atau relaksasi dalam PPKM terbaru patut diapresiasi. Dengan mengizinkan sektor pedagang dan usaha kecil, supermarket, pasar tradisional, toko klontong dan swalayan baik itu beroperasi hingga waktu yang ditentukan dengan. Namun kebijakan tadi semoga bukan untuk “main aman”, guna meminimalkan pengurangan beban masyarakat efek. Praduga wajar muncul mengingat banyaknya kritikan atas kegemaran Pemerintah gonta-ganti istilah mulai PSBB hingga PPKM. Padahal secara regulasi sudah ada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang lebih tepat dan efektif untuk mengatasi pandemi namun sama sekali tidak pernah dilirik. Sebab konsekuensi penerapan UU yang mewajibkan Pemerintah wajib membayar kebutuhan rakyat selama masa pemeliharaan. Seperti hitung-hitungan dengan urusan rakyat atau ini membuka tirai masalah keuangan negara yang selama ini selalu disembunyikan? Sebab konsekuensi penerapan UU yang mewajibkan Pemerintah wajib membayar kebutuhan rakyat selama masa pemeliharaan. Seperti hitung-hitungan dengan urusan rakyat atau ini membuka tirai masalah keuangan negara yang selama ini selalu disembunyikan? Sebab konsekuensi penerapan UU yang mewajibkan Pemerintah wajib membayar kebutuhan rakyat selama masa pemeliharaan. Seperti hitung-hitungan dengan urusan rakyat atau ini membuka tirai masalah keuangan negara yang selama ini selalu disembunyikan?
Teladan
Masyarakat sudah kenyang bahkan jenuh dengan berbagai istilah sosial yang terus berganti akan tetapi tanpa kemajuan . Termasuk PPKM Darurat yang berakhir 26 Juli lalu. Saat berjalan sembilan hari di Jawa-Bali saja penularan tak kunjung turun. Beberapa kali tercatat kasus harian dan kasus kematian saat PPKM Darurat berlangsung. Bahkan pada 7 Juli, pasien Covid-19 yang meninggal mencapai 1.040 orang, tertinggi selama pandemi. Anggaran pun bertambah. Banyak pihak yang mengkambinghitamkan kedisiplinan masyarakat. Tudingan tersebut dirasa tidak adil. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan tidak bisa berdiri sendiri. Tapi juga ditentukan sejauhmana aturan penegakan dapat konsisten dan tidak tebang pilih, berperikemanusiaan serta rasional. Selagi penengakan hukuman atas pelanggaran Prokes masih timpang dan tak berkeadilan, berharap masyarakat berharap disiplin dan patuh. Menko Marves sekaligus koordinator penanganan Covid-19 Jawa-Bali Luhut Binsar Panjaitan sendiri terang-terangan mengakui melonjaknya kasus akibat tindakan memberi contoh. Kita tak peduli kepada siapa pun pernyataan tersebut ditujukan. Intinya adalah salah satu faktor mengapa penanganan pandemi tidak terkendali.
Hal-hal lain yang juga patut disesalkan adalah cara dan pendekatan pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh penting yang seringkali tidak mencerahkan dan tidak mendidik. Munculnya istilah seperti herd dumbity dan istilah lain yang dianggap tidak etis. Boro-boro mendidik masyarakat untuk dan taat Prokes, bahasa bernada buruk, mengancam dan menakut-nakuti kekanak-kanakan dan khawatir akan menuai tanggapan negatif hingga pembangkangan sosial. Apalagi di saat mobilitas dan usaha masyarakat dibatasi, berseliweran kabar di media massa terbuka soal arus penerbangan dari luar negeri. Ribut-ribut TKA Cina dan WN India contohnya. Bahkan pemberitaan menyebut varian delta berasal dari WN India yang masuk ke Indonesia.
Alokasi Anggaran
Selain hal diatas, aspek mendasar yang menentukan adalah alokasi dan keberpihakan anggaran. Kami di lembaga legislatif terus terang belum melihat totalitas dari eksekutif pihak eksekutif. Kebijakan sosial bentuk apapun, kesannya sekedar melegalisasi anggaran melalui refocusingsendiri. Implementasinya tak perlu dan tanpa dibarengi koordinasi yang baik. Terbukti sering saling lempar tangan antara Pemprov Riau dan Pemkab/Pemko. Selanjutnya, alokasi dan fokus anggaran pusat hingga daerah pun untuk menjawab banyak pertanyaan. Untuk alokasi misalnya, data dari Kemendagri mengungkap bahwa total APBD yang dialokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19 tahun ini Rp42,15 triliun. Angka tersebut terbilang kecil dibandingkan APBD dari 493 daerah provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang totalnya mencapai hampir Rp1.000 triliun. Untuk APBD Provinsi Riau alokasi penanggulangan Covid-19 kalah dibanding provinsi tetangga. Sudahlah anggaran terbatas realisasi pun tak maksimal.
Lanjut ke fokus anggaran juga buyar. Banyak program yang tidak berdampak langsung terhadap pemenuhan kebutuhan mendasar masyarakat selama pandemi tetapi dipertahankan. Entah itu pembangunan infrastruktur semisal gedung, tugu dan lain-lain yang tidak bisa ditunda lagi. Begitupula berupa program kerja yang bersifat nasional seperti Kartu Prakerja yang mencatat anggarannya terus bertambah dengan total mencapai Rp31,2 triliun. Mirisnya penambahan anggaran yang berasal dari sisa anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang terserap di tahun sebelumnya. Padahal BLT prioritas dan dibutuhkan. “Wabah” rendahnya rasa krisisdalam manajemen anggaran inilah yang berbahaya. Karena memperparah keadaan dan membuat berbagai penanganan pandemi menjadi tidak efektif, terutama upaya sosial. Bagaimana mungkin masyarakat diminta tinggal di rumah dan pusat kegiatan sementara negara tidak bisa memberi ketenangan bagi rakyatnya terutama terkait kebutuhan mendasar? Ini tidak jelas dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. ***
SOFYAN SIROJ ABDUL WAHAB, LC, MM. ANGGOTA DPRD PROVINSI RIAU
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungan penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi serambipos.com