SERAMBIPOS.COM-Kekerasan yang dialami perempuan di dunia digital (siber) bukan hal yang baru terjadi. Bahkan jauh sebelum media siber hadir, kaum perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik itu kekerasan fisik, non fisik atau verbal, maupun kekerasan seksual.
Hampir setiap hari kita mendapatkan informasi -bahkan mengalami- apa yang kini disebut Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS). Setidaknya terdapat duabelas bentuk KBGS yaitu memperdayai (cyber grooming), pelecehan seksual siber (cyber harrashment),peretasan (hacking), konten melanggar hukum (illegal content), ancaman distribusi foto atau video pribadi (malicious distribution), penghinaan atau pencemaran nama baik (online defamation), penggunaan teknologi untuk mendownload dan mengedit gambar asli korban (morphing), pemalsuan identitas (cloning), penguntitan (cyber stalking), prostitusi online (online Prostitution); pornografi balas dendam (revenge porn) dan pengiriman pesan seksual (sexting).
Ini mempertegas bahwa kekerasan terhadap perempuan di dunia nyata juga dilakukan di dunia siber. Seperti pelecehan seksual non-fisik yang disasarkan kepada perempuan baik melalui komentar, sexting, menguntit (stalking), merisak atau mencemarkan nama baik perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan tidak nyaman, terancam, dan dipermalukan.
Meski digital (siber) dapat memberikan kreativitas dalam beberapa hal, karena memang kreativitas merupakan kompenen penting, utamanya dalam feminisme dunia maya, namun hal tersebut juga perlu diskusi lebih lanjut agar tidak terjadi kesalahan, salah satunya dalam hal berkomentar (Hawthrone, 199). Karena hal tersebut bisa saja melanggar norma dan kontruksi sosial yang bergantung pada kemampuan untuk melihat ketidakadilan dari penindasan yang dirasakan seseorang ketik mengalami hal tersebut (Millar, 1998 dalam buku Cyber Feminism, 1999).
Dan kaum perempuan yang sesungguhnya sangat rentan di (ruang) siber dibanding laki-laki. Perempuan sangat cepat dilecehkan bila tidak tampil sesuai dengan standar ataupun pikiran orang lain. Jadi kesempatan perempuan untuk mengekspresikan dirinya apa adanya bisa menjadi momok tersendiri, apakah mendapat pujian ataukah menjadi korban yang diserang oleh followers-nya. Lebih dari itu, perempuan seperti kehilangan otonomi atas tubuhnya melalui penyebarluasan konten-konten pornografi yang digunakan untuk menyerang dan menghancurkan kehidupan perempuan. Kekerasan ini memiliki dampak lebih panjang dan dalam bagi korban dikarenakan kekhasan KBGS adalah jejak digital, keberulangan dan luasnya penyebaran.
Komnas perempuan mencatat, sepanjang 2020 pengaduan kekerasan terhadap perempuan diranah komunitas/public paling banyak pada kejahatan siber. Jumlahnya sebanyak 454 kasus atau 65% dari total pengaduan secara keseluruhan (databoks.katadata.co.id). bahkan kasus kekerasan berbasis gender online (KGBO) terhadap perempuan meningkat tiga kali lipat selama masa pandemic Covid-19. Hal itu disampaikan langsung oleh Divisi Keamanan Online Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman tentang karakteristik di dunia digital yang membuat orang kemudian lengah sehingga bisa memunculkan tindak kekeraan (Kompas).
Pengalaman buruk saat berinteraksi di dunia siber sebagaimana yang disebutkan di atas, tak hanya dialami oleh perempuan biasa. Publik figure perempuan bahkan lebih rentan terhadap kekerasan di dunia digital. Ambil contoh, pengalaman aktris Maudy Ayunda yang belum lama ini berhasil meraih dua gelar magister sekaligus di usianya yang baru 26 tahun. Gelar Master of Business Administration (MBA) dan gelar Master of Arts (MA) diraihnya dari Stanford University, California, Amerika Serikat.
Keberhasilan Maudy Ayunda bukan hanya membanggakan keluarganya tapi juga para warganet, Sebab bisa dihitung dengan jari artis yang berhasil di dunia akting sekaligus di dunia akademik. Dan Maudy Ayunda membuktikan hal itu. Namun ada satu warganet yang berani mencibir keberhasilan yang telah diraih oleh Maudy Ayunda. Begini komentar warganet yang mengandung muatan perundungan di twitter : “Buat apa Maudy sekolah tinggi-tinggi kalau nantinya jadi ibu rumah tangga karena dinikahi pengusaha kaya raya.”
Meski satu komentar negatif ini akhirnya dibalas dengan puluhan komentar positif dari warganet yang mengidolakan Maudy Ayunda, namun ini menjadi bukti bahwa perempuan yang mengekspresikan dirinya dengan prestasi akademik –disamping sosoknya yang cantik– sekalipun tidak luput dari kekerasan verbal di dunia maya. Situasi ini menunjukkan bahwa kekerasan secara online dan kekerasan terkait teknologi (violence online and tech-related violence) merupakan bagian dari rangkaian kekerasan berbasis gender.
Aktris cantik berdarah Jerman-Indonesia dengan aksen khasnya, Cinta Laura pernah juga mengalami perundungan di dunia maya. Cinta Laura mengaku sampai depresi dan memutuskan untuk beberapa waktu lamanya bermukim di luar negeri karena tertekan dengan perundungan penggemarnya, terutama aksen campur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris yang menjadi kekhasannya yang tak dimiliki artis lain saat itu. Kata warganet, ‘’kenapa sih, bahasa Inggris? kan Cinta di Indonesia?‘’
Kim Jennie atau yang biasa dikenal dengan Jennie BLACKPINK yang namanya sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia, pernah mendapat kritikan pedas di dunia siber melalui Instagram. Idol yang dikenal multitalenta dari Korea Selatan ini dituduh malas-malasan saat melakukan koreografi diatas panggung. Kata warganet “… Ternyata gak di Indo aja loh dia malesnya. Konser di mana-mana kayaknya emang gitu ya mbak Jen, sebagai Blink aku jujur kecewa sama attitudenya yang gak professional…”
Kasus paling anyar yang terjadi di dunia siber adalah pengalaman Shandy Aulia yang mendapatkan komentar tak mengenakkan dari seorang warganet mengenai putrinya. Di mana ia menyebut Shandy Aulia adalah sosok artis yang bebal. Tak hanya di kolom komentar Instagram, warganet tersebut juga menuliskan unggahan Shandy dan putrinya di Facebook dan mengatakan bahwa putri Shandy gizi buruk. Hal tersebut membuat Shandy tidak tingal diam dan membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
Berbagai bentuk kekerasan yang dialamai perempuan di ranah ini tidak terlepas dari ruang patriarki (patriarchal spaces) yang saat ini masih mengendalikan internet. Padahal ruang ekspresi murni tanpa identifikasi kelamin sebenarnya dimungkinkan dalam internet, mengingat konsep cyborg yang diuraikan Donna Haraway menunjukkan bahwa teknologi membuat kabur batasan tubuh organik. Sehingga memungkinkan perempuan membangun narasi ide kesetaraan dan menyuarakan haknya.
Berdasarkan hasil riset Google pada pertengahan 2019 menunjukkan meski akses Internet sudah semakin luas dan terjangkau, tetapi masih ada kesenjangan akses digital antara laki-laki dan perempuan di Indonesia. Padahal 175,4 juta penduduk Indonesia yang memiliki akses internet dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 272,1 juta, proporsi laki-laki yang menggunakan internet tetap masih lebih banyak/unggul dibanding perempuan. Perempuan di Indonesia hanya 20 persen dari data tersebut yang memiliki akses terhadap internet (kumparan.com, 2020).
Bila ditelisik lebih jauh data tersebut, bahwa hanya 5 persen perempuan yang menggunakan internet untuk mengekspresikan pandangan mereka, sedangkan 26 persen menggunakan internet untuk mencari informasi yang kritis mengenai hak perempuan (kumparan.com, 2020). Dan jumlah yang terbanyak adalah perempuan yang menggunakan media siber untuk tujuan yang tidak mencerdaskan dirinya dan mereka pun tidak mengimbangi dengan kemampuan teknis digital yang memadai.
Ada empat hal yang menjadi penyebab jumlah perempuan yang menggunakan internet masih rendah dibanding laki-laki, yaitu keterbatasan akses pada internet; kurang piawainya perempuan untuk menemukan, membuat atau membagikan konten secara online; kuatnya privasi; dan ketidakamanan yang dirasakan perempuan ketika berada di ruang digital (voaindonesia.com, 2020).
Pertanyaan berikutnya, mengapa internet belum membuka ruang yang lebih luas bagi perempuan? Dikutip dari buku Feminisme and Postfeminisme Sarah Gamble, cyberfeminism memiliki pemahaman bahwa sesungguhnya teknologi –termasuk perkembangan information and communication technology— telah memberikan angin segar bagi kaum perempuan sebagai kelompok marjinal. Karena dengan teknologi, perempuan dapat berekspresi tanpa batas di dunia maya dibanding di dunia nyata. Bahkan perempuan dapat memiliki identitas baru yang mereka bangun sendiri di dunia maya.
Dan feminis menjadi jawaban yang melegakan setelah datang berbagai pertanyaan: apakah teknologi sebenarnya membebaskan perempuan atau justru menjerat perempuan? Donna Haraway dalam bukunya yang berjudul, A Cyborg Manifesto (1985), menjawab bahwa jejaring yang diciptakan teknologi justru memberikan ruang kebebasan bagi perempuan, Dengan kata lain, tekonologi dapat membebaskan perempuan dalam upaya menyongsong masa depannya, dengan memberikan akses kepada perempuan sebagai kaum marjinal untuk membebaskan kehidupannya.
Esai Donna Haraway menolak pandangan esensialis terhadap perempuan dan laki-laki. Haraway menolak dianggap sebagai dewi dan mengidentifikasi dirinya sebagai cyborg yang lebih egaliter. Evolusi telah mengaburkan batas-batas antara binatang, manusia dan teknologi begitu juga dengan seks dan gender.
Di Indonesia, untuk melindungi kaum perempuan di era digital. Meski sebagian pihak menyebutkan perlindungan hukum yang sudah ada belum memadai secara maksimal, namun begitu DPR sudah menghasilkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Pornografi dan UU Penyiaran. Dua Rancangan Undang-Undang (RUU) lainnya juga sedang dibahas di DPR hingga sekarang, yaitu RUU Perlindungan Data Pribadi dan RUU Siber. Kelima undang-undang tersebut nantinya saling terkait dan menguatkan, serta melindungi semua warga negara Indonesia, termasuk perempuan.
Selain itu, langkah strategis lain yang perlu dijalankan untuk mencegah perempuan menjadi korban kekerasan berbasis internet adalah memberikan literasi pada perempuan pengguna internet di Indonesia. Pada titik ini, negara wajib memastikan adanya tanggung jawab korporasi. Bagaimana pun korporasi sebagai tulang punggung internet yang menyediakan infrastruktur dan platform/aplikasi dituntut harus berperan aktif memberikan literasi digital kepada penggunanya untuk melindungi hak perempuan. Hal tersebut merupakan bentuk tanggung jawab korporasi dalam penghormatan hak asasi manusia, khususnya kepada perempuan.
Dan sesungguhnya feminisme punya modal besar untuk merebut dominasi patriarki atas teknologi melalui dekonstruksi dan penggunaan teknologi untuk tujuan yang baik, menguntungkan dan bertujuan untuk kesetaraan perempuan dan gender lain yang terdampak oleh patriarki.
Sebagai penutup, mengutip apa yang disebutkan Melanie Stewart Millar (1998) tentang cyberfeminism kritis adalah perspektif yang berpusat pada perempuan yang menganjurkan penggunanya akan sebuah teknologi informasi dan komunikasi untuk pemberdayaan. Beberapa feminis siber secara inheren melihat teknologi ini membebaskan perkembangan mereka akan mengarah pada berakhirnya superioritas laki-laki karena wanita secara unik dan cocok untuk hidup di era digital. ***
*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi serambipos.com